Senin, 06 Mei 2013

REDENOMINASI DAN PENINGKATAN NILAI TUKAR RUPIAH


REDENOMINASI DAN PENINGKATAN NILAI TUKAR RUPIAH
Oleh : Nur Rokhmani Tri Siswi

Beberapa tahun terakhir ini masyarakat dihebohkan oleh isu terkait redenominasi rupiah. Redenominasi adalah penyederhanaan digit nominal mata uang tanpa memengaruhi nilai tukar mata uang tersebut. Di Indonesia, Redenominasi rupiah ini rencananya akan mulai dilaksanakan pada tahun 2014 dengan masa transisi selama 4 tahun atau hingga 2018.
Redenominasi sebenarnya bukan lagi isu baru. Masyarakat Indonesia lebih mengenal istilah ini dengan sebutan saneering. Namun sebenarnya Redenominasi dan saneering memiliki makna yang jauh berbeda. Perbedaan kedua kebijakan tersebut sangat jelas. Titik perbedaan kedua kebijakan tersebut terletak pada nilai mata uang dan daya belinya, dimana kebijakan redenominasi sama sekali tidak mengubah nilai mata uang dan daya belinya. Sementara kebijakan saneering mengurangi nilai mata uang terhadap daya belinya.
Masih terdapat pro kontra terhadap kebijakan redenominasi ini. Terutama terkait rencana sosialisasi kepada publik yang masih belum berjalan secara optimal. Untuk menyukseskan kebijakan ini, sosialisasi kepada masyarakat harus terus dilakukan hingga ketingkat masyarakat lapisan bawah. Hal ini dikemukakan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa. “ Bicara redenominasi, maka kita perlu sosialisasi yang matang pada seluruh rakyat,” tutur Hatta pada seorang wartawan tertentu ketika ditemui di Car Free Day Dago, Bandung (27/1/2013). Hal ini juga diperkuat dengan luasnya lapisan masyarakat yang masih belum memahami maksud kebijakan tersebut.
Untuk lebih memahami kebijakan redenominasi ini, kita bisa tengok sejarah bangsa dalam melakukan kebijakan ini. Bisa juga menengok kebijakan negara-negara yang pernah melakukan kebijakan ini pada sistem perekonomiannya. Indonesia, pada tahun 1946, melakukan redenominasi terhadap mata uang Jepang yang beredar sangat banyak di Indonesia, sementara Gulden –mata uang NICA- sedikit beredar dan nilai tukarnya sangat tinggi. Berlanjut pada tahun 1950, Indonesia menerapkan suatu kebijakan yang dinamakan dengan kebijakan gunting sjafrudin yang bertujuan untuk mengefisienkan perdagangan, menekan laju inflasi, dan mengisi kas negara. Pada tahun 1959 dan 1965merupakan penerapan kebijakan saneering (redenominasi) yang ketiga dan keempat. Kebijakan ini diambil atas parahnya keadaan ekonomi Indonesia.
Di ambilnya kebijakan redenominasi ini sebenarnya justru memperlihatkan keadaan perekonomian Indonesia yang sedang semrawut. Kondisi psikis masyarakat terhadap kebijakan serupa di masa lampau akan mempengaruhi tingkat penerimaan di masyarakat. Seorang mahasiswa jurusan ekonomi, Soleh, yang sempat diwawancara pun mengatakan bahwa sosialisasi terhadap masyarakat tidak boleh diabaikan dalam pengambilan kebijakan redenominasi ini. “Jika kurang penyuluhan dan pemberitahuan terhadap hal tersebut akan terjadi kebingungan dalam penentuan harga pada masyarakat. Pemberitahuan ini ditujukan untuk meningkatkan pemahaman pada masyarakat agar tidak berfikir bahwa redenominasi akan menyebabkan terjadinya kebangkrutan pada beberapa pihak seperti yang terjadi pada masa lampau,” Tuturnya.
Dilain pihak, kebijakan ini mungkin akan juga membawa dampak yang positif bagi psikologi pasar Indonesia, jika dalam praktiknya, redenominasi memang berbeda dari kebijakan serupa sebelumnya yakni saneering. Meskipun awalnya akan terjadi gonjang-ganjing dan kebingungan pada masyarakat, tetapi efek kedepannya justru akan bisa meningkatkan semangat berekonomi dan kebanggaan akan mata uang sendiri. Peningkatan daya tawar mata uang di kurs dan valuta asing pun akan mendapat efek. Selain itu, laju inflasi dapat ditekan, karena dengan adanya kebijakan ini peredaran uang dapat dikurangi tanpa mengakibatkan berkurangnya nilai ekonomi.
Terkait psikologi pasar, analoginya seperti ini. Jika saat ini 1 dolar = 9.000, kesan yang terlihat adalah mata uang rupiah memiliki nilai yang sangat rendah dibandingkan mata uang dolar yang menjadi acuannya. Tetapi setelah redenominasi, 1 dolar akan menjadi 9 rupiah. Hal ini akan menstabilkan psikologi pasar terkait nilai tukar mata uang rupiah di perekonomian dunia. Stabilnya psikologi pasar diharapkan nantinya bisa menjadi stimulus bagi perkembangan pasar nasional.
Bagaimanapun kondisinya, penerapan kebijakan redenominasi ini tetap akan ada dampak positif dan negatifnya baik bagi masyarakat maupun bagi perekonomian Indonesia tergantung dari tujuan dan sasaran redenominasi itu sendiri. Namun hal yang paling bijaksana dari itu semua adalah, tetap mengendalikan jumlah uang yang beredar untuk tetap menjaga kestabilan rupiah kita. Seperti yang diungkapkan Irving Fisher dalam teorinya yang mengemukakan bahwa besar kecilnya permintaan uang yang terjadi di masyarakat ditentukan oleh besar pendapatan nasional dan volume transaksi. Jadi, sudah jelas bahwa apapun kebijakan yang diambil, pengendalian jumlah permintaan uang, volume transaksi dan laju inflasi tetap menjadi perhatian utama bagi para pengambil kebijakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar